Sumber Ajaran Islam
Rabu, 02 April 2014
0
komentar
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam adalah
agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus
dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki
sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Islam sebagai
agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang
disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Kariim.
Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita
kenal dengan Hadits. Al Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi
pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
BAB II
SUMBER AJARAN ISLAM
A.
Al-Qur’an
1.
Pengertian Al-Qur’an dan
Kehujjahannya.
Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan oleh Nya melalui perentaraan malaikat Jibril ke
dalam hati Rasulullah Muhammad SAW dengan lafazh yang berbahasa arab dan
makna-maknanya yang benar Untuk menjadi hujjah bagi rasul atas pengakuannya
sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia yang menikuti
petunjuknya, dan menjadi ibadah bagi merekayang membacanya. [1] Al-Quran disusun dengan diawali surah
al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an Naas, yang sampai kepada kita secara
teratur (perawinya tidak terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi kegenarasi, terpelihara
dari adanya perubahan dan penggantian.
Alasan bahwa
Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya
adalah undang-undang yang harus ditaati ialah karena Al-Quran diturunkan
langsung dari Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti
tidak diragukan lagi kebenarannya.[2]
2.
Macam-macam hukum Al-Qur’an.
Hukum yang
dikandung dalam Al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu:
·
Pertama
: Hukum-hukum I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya
oleh setiap mukallaf.
·
Kedua
: moralitas, yang berhubungan dengan
sesuatu yang arus dijadikn perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal
keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang hina.
·
Ketiga
: Hukum Amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari
mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan pembelanjaan.
Hukum –hukum
amaliyyah didalam Al-Qur’an terdiri atas dua macam, yaitu:
a)
Hukum-hukum
ibadah, seperti : shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainya yang
dimaksudkan untuk mengatur manusia dengan Tuhannya.
b)
Hukum
muamalat, seperti: akad, pembelanjaan, hukuman pidana dan yang lainnya yang
bukan ibadah yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara sesame mukallaf.
Siapapun yang
meneliti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, maka akan jelas baginya, bahwasanya
hukum-hukumnya bersifat rinci dalam bidang ibadah dan bidang-bidang yang
disamakan dengannya, yaitu hukum keluarga dan hukum warisan kebanyakan hukum macam
ini bersifat ta’abbudi, dan tidak ada peluang bagi akal didalamnya serta tidak
berkembang bersama dengan perkembangan lingkungan.
Adapun
hukum-hukum selain ibadah dan hukum keluarga, seperti hukum perdata, hukum
pidana dan hukum perundang-undangan, hukum tata negara dan hukum ekonomi, maka
hukum Al-Qur’an mengeai semua itu merupakan kaidah-kaidah umum dan
prinsip-prinsip dasar. Al-Qur’an tidak menyinggung tentang hal ini secara
langka karena hal ini berkembang bersama dengan perkembangan lingkungan dan
kemaslahatan. Oleh karena itu, Al-Qur’an membatasinya pada kaidah-kaidah umum
dan prinsip-prinsip dasar, agar para penguasa pada setiap masa leluasa untuk
memerinci undang-undang mereka mengenai hal-hal itu sesuai dengan kemaslahatan
rakyat dalam batas-batas yang digariskan oleh Al-Qur’an tanpa berbenturan
dengan hukum yang mndatail di dalam Al-Qur’an. [3]
3.
Dalalah ayat Al-Qur’an : Qath’i dan Zhanni.
Nash-nash dalam
Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qath’i (pasti) dari segi kehadirannya dan
ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah SAW kepada kita. Maksudnya, kita memastikan bahwa
setiap nash Al-Qur’an yang telah kita baca itu adalah hakekat nash Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada
Rasul-Nya. Kemudian Rasul menyampaikan kepada umatnya tanpa ada perubahan dan
tidak pula ada penggantian.[4]
Adapun nash
Al-Qur’an ditinjau dari petunjuk hukum yang dikandungnya terbagi menjadi dua:
1)
Nash
yang memiliki petunjuk hukum Qath’i (pasti)
Ialah nash yang
menunjukan makna yang dapat dipahami secara tertentu, dan tidak mungkin
dipahami dengan makna yang lain.
Seperti firman
Allah:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur (النساء : ١٢)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai
anak. (QS. An Nisaa : 12)
Petunjuk hukum
ayat diatas adalah pasti, karena bagian suami pada bagian dalam ayat adalah
setengah, tidak kurang dan tidak lebih.
2)
Nash
yang memiliki petujuk hukum Zhanni (dugaan)
Adalah nash
yang memungkinkan untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain.
Seperti dalam
firman Allah:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% (البقرة : ٢٢٨)
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS.
Al-Baqarah : 228)
Lafal Quru dalam
bahasa Arab memiliki dua makna ; suci dan haid. Sedangkan dalam nash
diterangkan bahwa wanita-wanita yang di talak harus menunggu selama tiga quru
sehingga mungkin yang dikehendaki ialah tiga kali suci atau tiga kali haid.
Jadi, petunjuk ayat ini belum pasti pada satu makna. Oleh sebab itu para
mujtahid berbeda dalam memberikan hukum terhadap wanita-wanita yang ditalak,
sebagian berpendapat tiga kali suci dan sebagian berpendapat tiga kali haid.[5]
B. Al-Hadits
1.
Pengertian Hadits
Hadits merupakan segala tingkah
laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
(taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan
yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT:
Artinya: ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah,” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah
SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai
luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya
maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah
SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
رَسُوْلِهِ سُنَّةُ وَ اللهِ كِتَابَ اَبَدًا ضِلُّوْا تَلَنْ بِهِمَا مَسَّكْتُمْ تَمَا اَمْرَيْنِ فِيْكُمْ تَرَكْتُ
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu
seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan sunah Rasulnya”. (HR. Imam Malik)
2.
Fungsi Hadits
Hadits merupakan sumber hukum
Islam yang kedua memilki dua fungsi sebagai berikut :[6]
1)
Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al
Qur’an yang masih bersifat umum.
Misalnya, ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana
cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan
cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oleh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu
haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan.
Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan,
yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
وَالطِّحَالِ فَالْكَبِدُ :
الدَّمَانِ وَاَمَّا, وَالْجَرَادُ الْحُوْتُ: الْمَيْتَتَانِ
فَامَّا, دَمَانِ وَ مَيْتَتَانِ لَنَا اُحِلَّتْ
Artinya:
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan
limpa…” (HR Ibnu Majjah)
2)
Menetapkan
hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah
satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
بِالتُّرَابِ اَوْلَهِنَّ مَرَّاتٍ
سَبْعَ يُغْسِلَ اَنْ الْكَلْبُ فِيْهِ وَلِغَ اِذَا اَحَدِكُمْ اِنَاءِ طُهُوْرُ
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
3.
Kedudukan dan kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah),
ulama tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an
dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu. kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi
umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama
hadits itu sah dari Rasulullah SAW.[7]
4.
Klasifikasi
Hadits
a)
Hadits
Shohih
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal.
Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshohehan suatu hadits.
b)
Hadits
Hasan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi
tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang
biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak
terlalu penting.
c)
Hadits
Dhoif
adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi.[8]
BAB
3
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh Nya melalui
perentaraan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad SAW dengan lafazh
yang berbahasa arab dan makna-maknanya yang benar Untuk menjadi hujjah bagi
rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia
yang menikuti petunjuknya, dan menjadi ibadah bagi merekayang membacanya.
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Fungsi hadits diantaranya :
1) Memberikan rincian dan penjelasan
terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum.
2)
Menetapkan
hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
[1]
Amir Syarifuddin , Ushul Fiqih Jilid II, Hal 18
[2]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf , Ilmu Ushul Fiqih (Semarang ; Dina utama,
1994), Hal 16
[3]
Amir Syarifuddin, Op Cit, Hal.34
[4] Ibid,
Hal. 36.
[5]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit, Hal. 38.
[7]
Khairul umam, ushul fiqh 1, -- Cet. 2. Jakarta: CV Pustaka
Setia, 2000. hal. 64-65.
[8]
www.gsfaceh.com, Op Cit.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Sumber Ajaran Islam
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://janganpernahselingku.blogspot.com/2014/04/sumber-ajaran-islam.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar