KONSEP DAN TEORI-TEORI MUQARANAH MAZHAB
Jumat, 04 April 2014
1
komentar
KONSEP DAN TEORI-TEORI
MUQARANAH MAZHAB
A.
PENDAHULUAN
Perbandingan madzhab
merupakan ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqoha’ (mujtahidin)
beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati maupun
yang diperselisihkan dengan membandingkann dalil masing-masing, yaitu dengan
cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan
pendapat yang paling kuat dalilnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui pendapat para imam madzhab (mujtahidin)
dan qoidah-qoidah yang mereka gunakan dalam mengistimbat suatu hukum, maka
seseorang harus mempelajari ilmu Perbandingan madzhab atau muqorotul-madzahib. Dalam makalah akan dipaparkan materi
tentang Muqaranah
Madzhab.
B.
PENGERTIAN MUQARANAH MAZHAB
Menurut Luis Ma’luf yang dikutip oleh Romli SA, (1999)
secara etimologi muqaranah berasal dari
kata kerja qarana, yang artinya membandingkan dan kata muqaranah sendiri, kata
yang menunjukan keadaan atau hal yang berarti membandingkan atau perbandingan.
Membandingkan disini adalah membandingkan dua perkara atau lebih. Adapun mazhab
yang berarti aliran atau paham yang dianut. Yang dimaksud disini adalah
mazhab-mazhab hukum dalam islam.[1] Sedangkan
menurut istilah, madzhab bermakna:
a)
Jalan
pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam Mujtahid dalam menetapkan
suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits.
b)
Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid
tentang hukum atau peristiwa yang diambil dari AL-Qur’an dan AL-Hadits.[2]
Menurut ulama fikih
Islam, perbandingan madzhab atau muqoronatul-madzahib adalah, Mengumpulkan pendapat
para imam mujtahidin dengan dalil-dalilnya tentang sesuatu
masalah yang diperselisihkann padanya, kemudian membandingkan dalil-dalil itu
satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqosahkan pendapat mana yang terkut dalilnya.[3]
C.
PERBANDINGAN MAZHAB SEBAGAI ILMU DAN METODE
Istilah
perbandingan madzhab merupakan terjemahan dari kata “muqaranah almadzahib”. Dalam
perkembangan keilmuan, dikenal juga istilah “fiqih muqaran”. Para ahli
telah berupaya untuk mendefinisikan istilah tersebut. Berikut dikemukakan pengertian
muqaranah al-madzahib dan fiqh muqaran oleh para ahli:
1.
Wahab
Afif mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah “ilmu pengetahuan yang membahas
pendapat-pendapat fuqaha beserta dalil-dalilnya mengenai masalah-masalah,
baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan
dalil masing-masing pendapat yang paling kuat”.
2.
Abdurrahman
mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah “ilmu yang memperbandingkan
satu madzhab dengan madzhab lainnya. Karena di antara madzhab-madzhab
tersebut terdapat perbedaan”.
3.
Huzaemah
Tahido Yanggo mendefinisikan perbandingan madzhab sebagai ilmu pengetahuan
yang membahas pendapat-pendapat fuqaha (mujtahidin) beserta dalil-dalinya
mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati (ijmak), maupun yang
diperselisihkan (ikhtilaf) dengan membandingkan dalil masing-masing, yaitu dengan
cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan
pendapat fuqaha yang paling kuat.
4.
Syaikh
Mahmoud Syaltout menjelaskan bahwa istilah perbandingan madzhab adalah
identik dengan istilah fiqih muqaran, yaitu “mengumpulkan pendapat para imam
mujtahid berikut dalil-dalinya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan
membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut untuk menemukan pendapat
yang paling kuat dalilnya”.
5.
Muslim
Ibrahim juga menyamakan antara muqaranah al-madzahib dengan istilah fiqh
muqaran. Ia mendefinisikannya sebagai “suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat
suatu masalah ikhtilafiyyah fiqih, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji
serta mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat
mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh dalildalil yang
terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syariat Islam”.
Jika
melihat pada definisi-definisi di atas, perbandingan madzhab dianggap sebagai suatu
ilmu yang mandiri yang memiliki ontology, epistemology dan aksiologi
tersendiri. Lebih jauh tentang hal ini, Muslim Ibrahim menjelaskan bahwa
perbandingan madzhab adalah salah satu cabang dari fiqih muqaran. Fiqh muqaran sendiri
menurutnya, memiliki empat buah cabang, yaitu muqaranah al-madzahab fi
al-fiqh (dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan “perbandingan madzhab”), muqaranah
al-madzahbi fi ushul al-fiqh (ushul fiqih
perbandingan), muqaranah asy-syara’i (perbandingan syariah) dan muqaranah
fi al-qawanin al-wadh’iyyah (perbandingan hukum”).
Di samping suatu ilmu yang mandiri,
perbandingan madzhab juga adalah suatu metode. Metode
perbandingan madzhab adalah suatu metode yang para fuqaha berusaha
mencari masalah yang diperselisihkan. Langkah dari metode perbandingan madzhab
adalah sebagai berikut:
1.
Mengutip pendapat-pendapat para fuqaha dari
berbagai madzhab yang diambil dari kitab-kitab madzhab, terutama pendapat yang
dianggap paling kuat;
2.
Mengutip dalil-dalil yang digunakan para
fuqaha, baik dari al-Quran, as-Sunnah, qiyas
dengan syarat dalil-dali tersebut yang paling kuat;
3.
Mengidentifikasi
faktor yang menjadi pemicu dari perbedaan pendapat tersebut;
4.
Mengkritisi
kuat atau lemahnya pendapat dan dalil yang dikemukakan masingmasing fuqaha;
D.
OBYEK DAN RUANG LINGKUP PERBANDINGAN MADZHAB
Obyek
bahasan ilmu perbandingan madzhab adalah membandingkan, baik permasalahannya,
maupun dalil-dalilnya. Sedangkan yang menjadi ruang lingkup atau sasaran permasalahan ilmu
perbandingan madzhab ialah:
1.
Hukum-hukum amaliah, baik yang disepakati,
maupun yang masih diperselisihkan antara para mujtahid, dengan membahas cara
beritihad mereka dan sumber-sumbeer hukum yang dijadikan dasar oleh mereka
dalam menetapkan hukum.
2.
Dalil-dalil yang dijadiakan dasar oleh para
mujtahid, baik dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah, atau dalil-dalil lain yang
diakui oleh syara’.
3.
Hukum-hukum yang berlaku di negara tempat
muqorin (pelaku muqoronah) hidup, baik hukum nasional/positif, maupun hukum international.[5]
E.
TUJUAN
MEMPELAJARI PERBANDINGAN MADZHAB
Tujuan mempelajari
perbandingan madzhab adalah:
1.
Untuk
mengetahui pendapat para imam madzhab (imam mujtahid) dalam berbagai masalah
yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alas an-alasan yang
dijadikan dasar bagi ssetiap pendapat dan cara-cara istimbat hokum dari
dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil uang digunakan oleh para
imam madzhab tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang melakukan studi
perbandingan madzhab akan mendapatkan keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar
dan meyakinkan akan ajaran agamanya, dan akan memperoleh hujjah yang jelas
dalam melaksanakan ajaran agamanya.
2.
Untuk
mengetahui dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang
digunakan setiap Imam madzhab (imam Mujtahid) dalam mengistimbat hukum dari
dalil-dalilnya, di mana setiap imam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan
tidak keluar dari dalil-dalil Al-Qur’an atau
Sunnah..
3.
Akan timbul rasa saling menghormati dengan yang
berbeda pendapat. Ini mengisyaratkan bahwa Islam menghargai kebebasan
menyatakan pendapat. Perbedaan pendapat yang terjadi bukan merupakan ajang
permusuhan dan perpecahan, tapi hendaknya perbedaan pendapat tersebut
dimanfaatkan untuk menemukan suatu kemudahan karena adanya alternative bagi
umat manusia dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang beraneka ragam
dan terus berkembang.[6]
Sedangkan
tujuan akademik adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
pendapat, konsep, teori, dasar, kaidah, metode, teknik dan pendekatan yang
digunakan oleh tiap imam madzhab fiqh dalam menggali hukum Islam dan penetapan
hukumnya.
2.
Mengetahui
betapa luasnya pemahaman ilmu fiqih dan betapa luasnya khazanah hukum
Islam yang diwariskan para imam madzhab.
F.
URGENSI PERBANDINGAN MADZHAB DALAM BERIBADAH
Memperbandingkan madzhab untuk
mendapatkan dalil yang terkuat dan pendapat yang lebih cocok
diterapkan adalah suatu kewajiban dan mengamalkannya pun suatu kewajiban.
Meskipun sebagian ulama mutaakhirin berpendapat bahwa mengamalkan hasil
perbandingan akan mengakibatkan perpindahan madzhab, yang juga tidak dibenarkan
oleh mereka, tetapi pendapat mereka ini lemah, tidak berdasarkan dalil yang
kuat. Justru hasil studi perbandingan yang terbaik adalah mengamalkan apa yang menurut
pembanding paling kuat dalilnya, baik bagi pembanding sendiri maupun bagi masyarakat
umum.
Hukum yang didapatkan dari hasil
perbandingan, tak lain merupakan hasil penelitian yang
objektif, sedang mengamalkan yang terkuat dalilnya adalah wajib.
G.
SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB
Proses
lahirnya madzhab adalah usaha para pengikut atau pendukung untuk menyebarkan
hasil ijtihad imamnya. Penyebaran ini dilakukan dengan metode lisan dan juga
tulis (pembukuan fiqih). Kemudian, pengikut hasil ijtihad itu semakin banyak,
membentuk suatu komunitas dan disebutlah komunitas tersebut bermadzhab imam ini
dan itu.
Jika
dilihat dalam sejarah tasyri Islam, madzhab lahir dari perjalanan yang cukup panjang.
Dimulai dari para sahabat Nabi saw yang focus pada ilmu dan hukum, sampai kepada
para tabiin di setiap daerah-daerah. Pada masa
tabi’in dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama dalam jumlah yang
cukup banyak.
Berbagai
kawasan (negeri) Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Banyak
diantara mereka yang mencapai tingkatan mujtahid mutlak. Sebagian ulama
terbaik itu membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum. Akhirnya
masing-masing mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya. Metode ini yang kemudian
dinamakan madzhab.
Syekh Abu
Malik Kamal menyebutkan, bahwa setelah abad kedua muncullah di tengah-tengah
mereka sikap bermadzhab pada mujtahid tertentu, dan jarang sekali ada orang
yang tidak berpegang pada bermadzhab mujtahid tertentu.[7]
Di
Madinah misalnya,
banyak nama Tabiin yang memiliki perhatian besar terhadap hukum
dan ilmu pengetahuan. Misalnya, Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Salim Ibnu
Abdillah, Nafi maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab az-Zuhri dan lainnya. Di
Makkah, tersebut nama besar seperti Ibnu Abbas Mujahid ibn Jabir, Ikrimah dan lainnya. Demikian
juga kita temukan nama besar di Kufah dan Bashrah seperti ‘Alqamah bin Qais,
Anas bin Malik, Qatadah ibn Da’aman dan nama besar lainnya.
Maka tidak heran kalau dalam literature hukum Islam
terdapat istilah madzhab Aisyah, madzhab Ibn Mas’ud, dan madzhab tabiin
lainnya. Para pemilik nama besar inilah yang sangat berjasa mengembangkan
kegiatan ilmiah
dan dengan pegajaran yang mereka lakukan mendorong munculnya generasi-generasi baru
yang focus pada masalah hukum. Generasi baru ini melakukan ijtihad dan
istinbath hukum sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Mereka menyebarkan hasil ijtihadnya,
menulis dan menjadi rujukan hukum bagi yang memerlukan.
Menurut
Thaha Jabir al-Ulwani generasi baru ini berjumlah 13 aliran, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Sufyan
bin Uyaynah (w. 198 H) di Makkah
2.
Malik
bin Anas (w. 179 H) di Madinah
3.
Hasan
al-Bashri (w. 110) di Bashrah
4.
Abu
Hanifah (w. 150 H) di Kufah
5.
Sufyan
al-Tsauri (w. 160 H) di Kufah
6.
al-Auzai (w. 157 H) di Syam
7.
Abdullah bin Idris as-Syafii (w. 204 H) di
Mesir
8.
al-Laits
bin Saad (w. 175 H) di Mesir
9.
Ishaq
bin Ruhawaih (w. 238 H) di Naisabur
10. Abu Tsaur (w. 240 H) di Baghdad
11. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
di Baghdad
12. Daud adz-Dzhahiri (w. 270)
di Baghdad
13. Ibn Jarir at-Thabari (w. 310) di Baghdad
Ketiga
belas aliran ini pada akhirnya membentuk madzhab-madzhab tersendiri.
Mereka
memiliki buku rujukan, memiliki metode istinbat dan
pengikut di masing-masing daerah. Ketiga belas madzhab ini digolongkan pada komunitas Sunni.
Dalam kelompok
Syi’ah, ditemukan juga berbagai madzhab fiqih. Diantaranya, Zaidiyyah, Imamiyyah,
Ismailiiyah. Ditemukan juga madzhab dari kelompok Khawarij, yaitu madzhab
Ibadiyyah.
Pendiri
madzhab-madzhab ini adalah ulama-ulama terkenal. Mereka belajar kepada ulama-ulama
sebelumnya apa yang mereka hafal dan faham dari warisan Nabi. Pada masa
imam-imam, negeri-negeri Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Ilmu-ilmu syar’i
mendominasi orang-orang yang memiliki akal yang cerdas, jiwa yang suci dan semangat
yang tinggi. Ulama syari’ah pada waktu itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan
yang tinggi dan terhormat di masyarakat Islam.
Dengan
ilmu wahyu yang mereka pelajari, mereka terangkat ke derajat yang tinggi. Mereka memantapkan madzhab
mereka dan meninggalkan kekayaan ilmiah yang begitu banyak untuk generasi
berikutnya dalam mengetahui kebenaran dan memahami nash-nash.
Seorang ahli fiqih dari madzhab Syafi’i Al ‘Allamah Abu
Syaamah berkata: “Imam Syafi’i membangun madzhabnya dengan bangunan yang
kokoh; yaitu dengan berpegang teguh dengan al Qur`an, as Sunnah dan pandangan
yang benar –berupa ijtihad yang dasar rujukannya al Qur`an dan as Sunnah- dan
menguatkan pendapat yang paling
dekat dengan al Qur`an dan as Sunnah.”
Semua
imam membangun madzhabnya dengan cara seperti ini. Madzhab
mereka tercermin dalam pendapat yang mereka tuangkan dalam buku-buku mereka,
mereka imla`kan pada murid-murid mereka atau mereka jawab atas pertanyaan
dan permintaan fatwa. Kemudian teman-teman dan murid-murid mereka membawanya
(menyebarkannya). Kemudian para pengikut imam inilah
yang memiliki peran besar dalam memperluas ilmu para imam
tersebut. Mereka menghafal dan menukilnya (baca: menyebarkannya). Seandainya mereka tidak
melakukan hal itu, niscaya madzhab mereka akan lenyap.
Peran para pengikut madzhab bukan terbatas pada menukil
semua yang mereka dengar dan memperluas ilmu tersebut, tetapi mereka juga
adalah orang-orang yang memiliki akal yang cerdas yang mampu melakukan
penelitian dan istimbat. Oleh karena itu
mereka juga melakukan ijtihad seperti yang dilakukan oleh para imam. Mereka
tidak merasa
berat untuk memilih pendapat yang berbeda dengan pendapat imam mereka jika
memang kebenaran tidak sesuai dengan pendapat para imam tersebut.[8]
H.
DAMPAK MADZHAB TERHADAP PERKEMBANGAN FIQIH
Madzhab fiqh dapat dikelompokkan menjadi tiga madzhab
utama yaitu: Sunni, Syi’ah, dan Khawariji. Dari tiga madzhab itu berkembang
madzhab yang lebih kecil, misalnya madzhab Sunni sampai sekarang berkembang
menjadi empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (al-Madzahib al-Arba’ah);
madzhab Syi’ah berkembang menjadi Madzhab Ja’fari (Imami), Zaidi, dan Isma’ili;
terakhir madzhab Khawarij menyisakan satu madzhab; madzhab Ibadi.
Ketiga
madzhab tersebut mempunyai karakteristik masing-masing dalam menggali hukum
Islam dan menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat. Begitu pula, dalam
proses pembentukan dan penulisan kitab fiqhnya, masing-masing memiliki sistematika
yang berbeda. Proses pembantukan tersebut, secara operasional, menurut Schahct,
terungkap dalam uraian berikut ini: “Masa penulisan
hukum Islam dimulai sekitar tahun 150 K (767 M) dan semenjak
saat itu perkembangan hukum yang bersikap teknis dapat diikuti
langkah demi langkah dari satu ulama ke ulama berikutnya. Di Irak,
perkembangan hukum harus dinisbahkan berturut-turut kepada Hammad
ibn Abi Sulaiman, ahli hukum Kufah (wafat 150 H/738 M) dan doktrin-doktrin
dari Ibn Aby Layla (wafat 148 H/765 M) dan doktrin Abu Hanifah
(wafat 150 H/767M), Abu Yusuf (wafat 182 H/798 M) serta doktrin dari Syaibani
(wafat 189 H/805 M), orang syria Awza’I (wafat 157 H/774 M)
menggambarkan satu tipe hukum lama dan Malik (wafat 179 H/795 M)
doktrinnya rata-rata menjadi anutan aliran hukum Madinah. Selama periode kedua, pemikiran hukum
secara teknis berkembang secara cepat dari
permulaannya dengan menggunakan metode analogi.”
Lebih tegas lagi, Schacht mengatakan bahwa yurisprudensi
hukum Islam lahir dari satu pusat, yakni madzhab Irak sebagaimana pendapat
Goldziher. Madzhab Irak ini lebih
berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah. Dampak
nyata dalam bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya para imam
atau murid imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan permintaan
penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzhab fiqh resmi
negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Madzhab
Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan.
Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam
berbagai madzhab, juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab Ar-Risalah yang
disusun oleh Imam Asy Syafi’i. sebagaimana pada periode ketiga, pada periode
ini, fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam
fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada
pendekatan teoretis. Selain itu, penulisan sunnah dikenal dengan “kutub al-sittah””
(Bukhari, Nuslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan Tirmidzi) yang jumlahnya berpuluh
jilid serta penulisan tafsir telah dilakukan seperti tafsir ibn juraih, Saddi dan
Muhammad bin Ishaq yang dikembangkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir terkenal).
Dalam
analisis Qordri Azizy, penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari madzhab besar
atau imam sebelumnya. Ia ungkapkan sebagai berikut: “Ulama pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 pada umumnya mengikatkan
diri pada suatu madzhab besar, namun sebenarnya mereka juga
tetap mengembangkan pemikiran mereka juga tetap mengembangkan pemikiran
mereka, meskipun dalam proses pengembangannya terkadang harus
terjadi perbedaan dengan pendapat imam-imam mereka. Di samping secara
formalitas mengikat diri kepada madzhab tertentu, metodologi berpikirnya
barangkali terikat hanya pada dasar-dasar pokoknya. Sebagai contoh,
misalnya al-Thahawi, memiliki banyak perbedaan dengan para imam
asalnya, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Ayaibani, dia masih mengikat
diri secara formal pada madzhab Hanafi dan dalam waktu yang bersamaan,
ia juga mengenbangkan lebih maju lagi madzhab ini secara teoretis”
Peralihan
dari tradisi ijtihad kepada tradisi taklid pun terjadi sebagai dampak madzhab
besar terhadap para pengikut atau muridnya. Sebagai
contoh, uraian yang terdapat dalam Al-Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha, dan Ihya
Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Mereka juga giat meneliti
dan mengklarifikasikan permasalahan fiqh dan memperdebatkannya dalam forum-forum
ilmiah sehingga dapat diketahui mana pendapat yang disepakati dan mana pendapat yang
diperselisihkan.
Kemudian,
mereka bukukan dalam bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya Al-Bathliyusi, Bidaya
Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham karya Asy-Syatibi dan lain-lainnya
yang merupakan embrio bagi kelahiran ilmu fiqh al-muqaram pada periode selanjutnya.
Fuqaha
juga sangat berkreasi dalam bidang usul fiqh. Mereka mempelajari metode-metode
yang dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya, menyempurnakan, dan menganalisis
hasil penerapan masing-masing metode kepada masalah-masalah fiqhiyyah
sehingga fase ini telah dapat menelurkan puluhan kitab dalam bidang qawaid fiqhiyyah,
seperti al-Asybah was al-Nadhair oleh Ibnu Nujaim (w. 969 H0, Al-Qawaid oleh Ibnu
Jizy (w. 741 H). Al-Qawaid oleh Ibnu Rajab (w. 790 H) dan sebagainya. Begitu pula dampak madzhab
terhadap penulis fiqh pada madzhab Syi’ah [Ja’fari, Ismail, dan Zaidiyah] dan
madzhab Khawarij [ibadi], berikut ini: Madzhab Syi’ah [Ja’fari] menghimpun beberapa
kitab pedomannya sebagai berikut:
1.
Al-Kafi fi ilm Ad-Din, karya Muhammad ibn
Yakub ibn Ishaq Al-Kulaini (w. 328 H);
2. Basyairu al-Darajat fi ulum Ali Muhammad wa ma khassahum Allah bih, karya
Ibnu Jafar Muhammad id Al-Hasan;
3. Man laa yahdhur Al-faqih, karya Abu Jafar Muhammad bin Ali Husain;
4. Al-Itibar dan al-Tahdzhib, karya Muhammad bin Hasan Al-Thusi.
5. Syarai’ al-Islam, karya Ja’far ibn Hasan Al-Hully (678 H)
6. Syarah Jawahirul Kalam, karya Muhammad Hasan Al-Najmi
7. Miftahu Al-Karamah, karya Muhammad Al-Jawad ibn Muhammad Al-Husein (1226 H)
8.
Wasail al-Syi’ah ila Masail al-Syari’ah, karya
Muhammad Al-Hasan ibn Ali Al-Hari (1104
H).
Sementara itu, madzhab Zaidiyah, meskipun sedikit,
madzhab ini mamiliki format penulisan fiqh, yakni Al-Majmu [fatwa-fatwa Zaid ibn
Ali], baik bidang hadis maupun fiqh, yang dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amar bin
Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan al-Raudhu An-Nadhir Syarh Majmu’ al-Fiqh
al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn Ahmad Al-Haimi Al-Yamini al-Son’ani (1221
H). Adapun kitab resmi Fiqh madzhab Ismaili, Da’aim al-Islam, karya Numan Ibn Muhammad
At-Tamimi (w. 974 H).
Adapun madzhab Khawarij, format penulisan kitab yang
dijadikan rujukan oleh madzhab Ibadiyah adalah Musnad Ar-Rab’I karya Rabi’ bin
Habib al-Farahidi al Umani al-Bashri dan kitab Ashdag Al-Manahij fi Tamyiz
Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama mutqkhir Ibadi, Salim bin Hamud.
Dampak
madzhab tehadap bentuk penulisan kitab fiqh terdapat tiga macam bentuk kitab,
yaitu:
1.
Matan,
yaitu kitab yang mengumpulkan masalah-masalah pokok yang disusun dengan
uraian yang mudah. Akan tetapi, kemudian ada pula dengan uraian yang sukar,
sehingga membutuhkan syarh (keterangan).
2.
Syarh,
yaitu kitab yang merupakan komentar dari kitab matan.
3.
Hasyiah,
yang merupakan komentar dari syarh.
Ketiga
bentuk kitab di atas, sampai sekarang masih banyak digunakan di tengah-tengah masyarakat
luas. Di samping itu, selain dipelajari di tengah-tengah masyarakat umum,
juga dipelajari di pasantren-pasantren di Indonesia. Bahkan, para cendikiawan pun
tidak sedikit yang mempergunakan buku-buku tersebut sebagai
rujukan.
Meskipun penggunaan
kitab-kitab tersebut selektif dan bergantung pada paham dan
aliran yang dianut. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa dampak
madzhab terhadap pembentukan dan penulisan kitab fiqh tidak hanya didasarkan
pada idealisme masing-masing madzhab, tetapi juga campur tangan penguasa yang
berkeinginan memiliki madzhab resmi dengan kitab yang dianutnya, seperti
Al-Kharraj karya Abu Usuf (murid Imam Hafani), Al Muwaththa karya Imam Maliki, dan sebagainya.[9]
I.
SIMPULAN
Menurut
ulama fikih Islam, perbandingan madzhab atau muqoronatul-madzahib adalah, Mengumpulkan pendapat
para imam mujtahidin dengan dalil-dalilnya tentang sesuatu
masalah yang diperselisihkann padanya, kemudian membandingkan dalil-dalil itu
satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqosahkan pendapat mana yang terkut dalilnya.
Dampak
madzhab tehadap bentuk penulisan kitab fiqh terdapat tiga macam bentuk kitab,
yaitu:
1.
Matan,
yaitu kitab yang mengumpulkan masalah-masalah pokok yang disusun dengan
uraian yang mudah. Akan tetapi, kemudian ada pula dengan uraian yang sukar,
sehingga membutuhkan syarh (keterangan).
2.
Syarh,
yaitu kitab yang merupakan komentar dari kitab matan.
3.
Hasyiah,
yang merupakan komentar dari syarh.
[2] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat:
Gaung Persada (GP) Pres, 2011),Cet. 4, H.80.
[4] Hasbiallah, Perbandingan Madzhab,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2009), Cet. 2, H. 6-7.
[8]
Hasbiallah,Op Cit, H. 20-22.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KONSEP DAN TEORI-TEORI MUQARANAH MAZHAB
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://janganpernahselingku.blogspot.com/2014/04/konsep-dan-teori-teori-muqaranah-mazhab.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
1 komentar:
Alhamdulillah menambah wawasan
Posting Komentar