Bentuk-bentuk Kebudayaan Penduduk Banjar Sebelum Kerajaan Islam
Jumat, 31 Oktober 2014
0
komentar
BAB I
PENDAHULUAN
Agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya
adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat
mempengaruhi simbol agama. Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai
dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua
persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya
mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif
ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi
mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata
normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.
Sementara budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam
masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas,
wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Dari uraian diatas, penulis akan menguraikan mengenai bentuk-bentuk
kebudayaan Banjar sebelum berdirinya Kerajaan Islam.
BAB II
KEBUDAYAAN BANJAR SEBELUM ISLAM
(Bentuk-bentuk Kebudayaan Penduduk Banjar Sebelum Kerajaan Islam)
Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati
wilayah Kalimantan
Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan
sebagian Kalimantan
Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah
signifikan juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Semenanjung
Malaysia karena migrasi orang Banjar pada
abad ke-19 ke Kepulauan Melayu. Berikut beberapa bentuk kebudayaan banjar sebelum islam:
A. Ritual Mandi (Badudus)
1.
Mandi Pangantin
Pelaksanaan Badudus untuk peralihan
status calon pengantin dalam rangkaian upacara pernikahan adat banjar, atau
sering disebut dengan istilah Mandi Pengantin. Tujuan pelasanaan
ritual Mandi Pengantin adalah untuk membentengi pengantin dari
berbagai gangguan yang tidak diinginkan. Jika tidak dipersiapkan penangkalnya,
dikawatirkan kedua mempelai yang hendak malangsungkan pernikahan akan terserang
penyakit dan kehidupan rumah tangganya kelak akan digoyahkan oleh berbagai
macam rintangan.[1]
2.
Mandi Penobatan
Adalah ritual Badudus yang dilakukan
oleh orang yang akan menerima gelar kehormatan. Misalnya sebagai bagian dalam
upacara penobatan raja atau upacara pemberian anugerah kebangsawanan dari
kerajaan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Maksud dilaksanakannya
ritual Badudus dalam konteks ini adalah sebagai pelindung agar raja yang
akan dinobatkan terbebas dari segala macam penyakit, baik lahir maupun batin,
dan dapat menjalankan pemerintahan atau tugasnya dengan baik, bersih dari
tindakan yang tercela, dapat berlaku adil, dan memikirkan kepentingan rakyat
banyak.[2]
3.
Mandi Hamil
Wanita yang hamil pertama kali (tian mandaring) harus diupacara
mandikan. Keharusan melakukan upacara mandi hamil ini konon hanyalah berlaku
bagi wanita nag turun temurun melakukan upacara ini. Seorang wanita yang
keturunannya seharusnya tidak mengharuskan dilakukannya upacara itu, tetapi
karena kondisi si bayi dalam kandungan mengharuskannya melalui ayahnya, si
wanita itu harus pula menjalaninya. Jika tidak konon wanita itu dapat dipingit,
sehingga umpamanya si bayi lambat lahir dan akibatnya ia sangat menderita
karenanya.[3]
Dalam kehidupan masyarakat
Banjar yang masih terikat akan tradisi lama, apabila seseorang wanita yang
sedang hamil untuk kali pertamanya, ketika usia kehamilan mencapai tiga bulan
atau pada kehamilan tujuh bulan maka diadakanlah suatu upacara dengan maksud
atau tujuan utama untuk menolak bala dan mendapatkan keselamatan. Karena
menurut kepercayaan sebagian masyarakat Banjar, bahwa wanita yang sedang hamil
tersebut suka diganggu mahluk-mahluk halus yang jahat.[4]
Upacara ini juga mempunyai maksud dan tujuan untuk keselamatan bagi ibu yang
sedang hamil serta keselamatan bagi seluruh keluarganya. Bagi masyarakat Banjar
Hulu Sungai khususnya, menganggap bahwa angka ganjil seperti 3, 7 dan 9 bagi
yang hamil merupakan saat-saat yang dianggap sakral. Bukankah kelahiran sering
terjadi pada bulan ke7 dan bulan ke-9. Dan menurut kepercayaan mereka bahwa
roh-roh halus dan hantu selalu berusaha mengganggu si ibu dan dan bayi dalam
kandungan, karena menurut mereka bahwa wanita hamil 3 bulan itu baunya harum.[5]
Asal-muasal munculnya ritual Badudus ditengarai dari tradisi yang
berlaku pada zaman Kerajaan Negara Dipa (sekitar tahun 1355 Masehi) dan
Kerajaan Negara Daha (sekitar tahun 1448 M). Dua kerajaan yang muncul secara
berurutan ini merupakan bagian dari mata rantai sejarah Kesultanan Banjar yang baru
didirikan pada tahun 1526 M.
Masyarakat Banjar meyakini bahwa ritual
Badudus harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu sebagai bentuk penghormatan
kepada tokoh-tokoh Kerajaan. Masyarakat
lokal percaya bahwa leluhur mereka itu masih hidup di alam gaib dan
sewaktu-waktu dapat diundang dalam acara-acara ritual tertentu. Kepercayaan ini
di anut secara turun-temurun, dan jika tidak dilaksanakan, maka diyakini dapat
menimbulkan malapetaka.
B. Bentuk Kegiatan
Balampah dalam Masyarakat
Banjar
Dalam bahasa Banjar, balampah adalah suatu kegiatan asketis
yang berarti “bertapa”. Kata lampah sering juga berarti berpantang sesuatu selama
waktu tertentu
dalam rangka kegiatan balampah tersebut. Beberapa contoh kegiatan balampah dalam masyarakat banjar yang ada sejak
sebelum islam masuk kewilayah banjar antara lain:
1.
Camariah dan Tubaniah
Kegiatan
balampah untuk memperoleh ilmu kebal atau kekuatan tubuh konon banyak dilakukan
orang pada saat perang kemerdekaan dan juga pada saat konfrontasi dengan Malaysia
dan dengan Portugis. Konon bentuk balampah yang dilakukan ialah antara lain
mencari hubungan dengan salah satu saudara gaib yang lahir bersama-sama kita,
yaitu khususnya “camariah” dan “tubaniah”. Apabila lampahan telah mencapai
kesempurnaan, maka dalam suatu situasi yang sulit kita konon dapat menghubungi
camariah atau tubaniah, yang akan menggantikan wujud kita, dan dengan demikian
kita tidak tampak oleh musuh (hilang) atau senjata apa pun tidak akan berbekas
terhadap kita. Hal ini disebabkan karena camariah hilang wujudnya setelah
lahir, dan wujud tubaniah berupa air.[6]
2.
Jin, Macan (Gaib) atau Orang Gaib
Hubungan
persahabatan konon juga bisa dilakukan dengan jin, macan (gaib) atau orang
gaib. Makhluk gaib manapun yang dihubungi, ketika pertama kali bertemu harus
diadakan perjanjian dengannya, yaitu berkenaan dengan nama (sandi) yang
diberikan kepadanya apabila bermaksud memanggilnya, dan makanan dan minuman
yang harus disiapkan setiap kali membutuhkan bantuannya atau pada waktu-waktu
tertentu yang disepakati. Sahabat gaib ini sebagaiamana muwakkal, akan membantu
kita dalam berbagai kegiatan, antara lain memberi tahu kita tentang jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang (obat untuk orang sakit tertentu
misalnya) dan membantu kita dalam situasi kritis (melindungi kita sewaktu
dikepung musuh misalnya).
3.
Mandi Awet Muda
Salah satu
contoh balampah agar agar supaya tetap tampak muda yaitu berwujud mandi pada
waktu subuh di sungai besar selama 7 hari berturut-turut.[7]
4.
Mandi Taguh
Umumnya, ritual
mandi taguh dilakukan oleh mereka yang ingin bepergian jauh, baik dalam rangka
untuk menuntut ilmu maupun berusaha seperti berdagang atau mendulang, mereka
yang akan melaksanakan tugas berat seperti tentara atau polisi yang ditugaskan
di daerah-daerah konflik, maupun mereka yang merasa terancam jiwanya.[8]
C. Kegiatan menanam Padi Masyarakat Maratus
Sistem bercocok tanam berupa perladangan berpindah dan menanam padi bagi
Orang Bukit dipercayai lebih utama dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan
dengan pekerjaan lainnya, seperti berkebun karet dan kayu manis, atau meramu
hasil hutan. Berladang menanam padi (bahuma) diyakini sebagai pekerjaan
Orang Langit, sebaliknya pekerjaan lain tersebut sebagai pekerjaan Orang Bumi. [9]
Tahap perladangan orang Meratus
sendiri dimulai dengan mencari lahan di hutan yang cocok untuk ditanami dengan
melihat tingkat kesuburan tanah dari hitamnya warna tanah tersebut atau tanah
yang babarkat. Setelah ditemukan lahan yang
sesuai, dilakukan upacara puja puji bagi Pidara Datu Nini (arwah nenek moyang),
penguasa hutan, atau roh dan kekuatan lainnya yang ada pada calon ladang yang
dipimpin oleh tetuha bubuhan (yang biasanya merangkap balian).[10]
Upacara selanjutnya adalah Memuja Tampa,
yaitu upacara untuk membuat atau mempertajam kembali peralatan pertanian utama,
yaitu parang dan belaying yang akan digunakan dalam bercocok tanam. Si pandai
besi mengucapkan puja-puja bagi Pidara Datu Nini atau arwah nenek moyang
mereka. Sebelum melakukan penebangan pohon di lahan yang akan ditanami, orang
Meratus melaksanakan upacara batilah, agar tidak membawa mudarat bagi
petani atau umbun yang bersangkutan.
Ritual dilanjutkan dengan Katuan
atau Merendahkan Balai Diyang Sanyawa, yaitu upacara di bawah pohon yang
terbesar dan yang tertinggi yang tumbuh di lahan yang akan ditanami yang
dianggap sebagai pohon tertua dan sebagai tempat tinggal roh yang menguasai
kawasan itu. Upacara
ini dilakukan untuk mohon ijin atau ‘mengusir’ secara baik-baik roh atau penguasa
setempat karena tempat itu akan dibuat ladang.
Umbun kemudian mulai Manambas
semak yang ada
di ladang dan mulai menebang pohon. Setelah pohon-pohon yang ada di ladang
ditebang, kemudian Malaring, yaitu
mengeringkan sisa batang pohon dan upacara ini sekaligus menandai berakhirnya
persiapan ladang yang akan ditanami.
Bamula, merupakan upacara memulai penanaman padi
setelah daun-daun dan ranting sudah dibakar habis dan sudah dibersihkan. Semua
anggota umbun dan kerabat dekat menghadiri upacara ini dengan berpakaian lebih
bagus dari hari-hari biasa seperti halnya jika akan menghadiri upacara
perkawinan. Penanaman padi bagi Orang Bukit juga digambarkan sebagai “mengantar
diyang berlayar” atau “mengantar diyang mencari jodoh”. Usai upacara,
dilanjutkan dengan penanaman padi ke seluruh ladang. Setelah padi ditanam,
yaitu pada saat padi mulai bunting, ritual yang dilakukan adalah Basambu
Umang. Upacara
menyembuhkan atau merawat padi, agar padi tumbuh subur, baik, dan berisi.
Ritual dilanjutkan dengan Manyindat Padi, yaitu
upacara mengikat rumpun dan tangkai padi sebagai tanda awal menuai padi.
Bawanang merupakan Upacara memperoleh atau mencapai kawanangan
(kebebasan dari pantangan atau pemali) padi yang baru dituai. Padi yang
belum wanang belum boleh untuk diolah menurut. Hanya padi yang sudah wanang
yang boleh ditumbuk menjadi beras, ditanak atau ditukar dengan benda
keperluan hidup lainnya. Upacara kemudian dilanjutkan dengan
Mamisit Padi, yaitu upacara
memasukkan atau mempersatukan padi yang telah wanang ke dalam lumbung. [11]
D. Rumah Banjar (Rumah Baanjung)
Rumah Baanjung adalah nama kolektif
untuk rumah tradisional suku Banjar dan suku Dayak
Bakumpai. Suku Banjar biasanya menamakan
rumah tradisonalnya dengan sebutan Rumah Banjar.[12]
Umumnya, rumah tradisional Banjar
dibangun dengan beranjung (bahasa Banjar: ba-anjung),
yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama,
karena itulah disebut Rumah Ba'anjung.
Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional
Banjar, walaupun ada pula beberapa jenis Rumah Banjar yang tidak beranjung. Rumah tradisional Banjar pada umumnya beranjung dua yang disebut
Rumah Ba-anjung Dua, namun kadangkala rumah banjar hanya hanya beranjung satu,
biasanya rumah tersebut dibangun oleh pasangan suami isteri yang tidak memiliki
keturunan.
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang. Sebelum
memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun
1596–1620.[13]
Keadaan alam yang berawa-rawa di
tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar,
menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat
dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar,
biasanya menggunakan kayu Kapur
Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka rumah ini biasanya
menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran
ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Atap
bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini
disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Penampilan rumah tradisional
Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang
konstruktif seperti tiang, tataban, papilis, dan tangga.[14]
E. Bentuk Kepercayaan Masyarakat Banjar
Dalam
kepercayaannya sejumlah jenis benda di anggap memiliki kekuatan sakti
yang memberi manfaat atau keburukan bagi sipemakai, umpamanya kekuatan
sakti yang ada pada besi sebagai senjata, yang biasa disebut tuah besi. Selain
itu masyarakat Banjar mempercayai akan adanya kekuatan sakti dari batu, dalam
hal ini ada dual hal jenis batu yang khas kedudukannya dalam hal pemilikan
tanaga ghaib yaitu batu akik dan batu zamrut. Batu akik mempunyai pancaran
khusus bila tidak mempunyai pancar ia hanya sebagai perhiasan biasa. Batu akaik
dan zamrut selain sebagai perhiasan ia juga berfungsi sebagai kekuatan sakti
untuk mendapatkan rizki, penolak bencana, pemanis bagi laki-laki atau perempuan
yang memakainya.[15]
F. Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar Sebelum
Islam
1.
Kerjaan Daha
Kepemimpinan
dalam masyarakat tradisional berakar kepada struktur sosial yang tertata
berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status (Max Webber, 1966:333). Status
seorang pemimpin cenderung berkaitan dengan penilaian sosial terhadap
kehormatan dan citra, sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial bersifat
pembagian politik (M.Z. Arifin Anis, 1994:31). Dalam struktur politik
pemerintahan Kerajaan Negara Daha, raja adalah titik pusat kekuasaan. Raja
Negara Daha sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan
mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya
atribut-atribut kerajaan, seperti benda-benda pusaka, gelar, atau
mitos-mitos geneologi yang berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja
sebagai penguasa (Ideham, [eds.], 2003). [16]
Kedudukan raja
dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara Daha diwarisi secara turun-temurun
sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan. Posisi raja bersifat keramat
karena dianggap mempunyai kesaktian yang dapat menambah wewenang (Anis,
1994:76). Wewenang raja pada dasarnya merupakan salah satu komponen kekuasaan.
Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai
rakyat sebagai hambanya. Jika dicermati, wewenang yang dimiliki oleh raja
memungkinkan sekali baginya untuk bertindak absolut (Ideham, [eds.], 2003).
Namun, meskipun memiliki wewenang yang cukup besar, namun belum berarti seorang
raja dapat menguasai seluruh kekuasaan karena faktor kekayaan turut menentukan
kedudukan raja (Anis, 1994:82).
Penobatan
seorang putra mahkota menjadi raja dilakukan melalui suatu ritual upacara.
Ritual upacara suci yang dianggap sebagai simbol kekuasaan raja ini dikenal
sebagai upacara badudusan. Anis (2004) menyebutkan bahwa upacara ini dimulai
ketika seluruh kerabat sudah berkumpul. Putra mahkota atau calon raja duduk di
sebelah kursi lalu diperciki dengan air suci oleh keluarga yang sedarah dengan
raja. Kemudian, air suci itu dibawa ke dalam istana dan ditimbang sebanyak tiga
kali. Jika sudah diketahui beratnya, maka calon raja diukur dengan benang emas
dan perak. Setelah itu, diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam.
Selanjutnya adalah hari penobatan putra mahkota sebagai raja, yakni dilakukan
pada hari ke delapan (Anis, 2004:80). Sebenarnya upacara penobatan raja
merupakan salah satu cara untuk mengesahkan kedudukan raja (Ideham, 2003).
Upacara badudusan ini mulai diperkenalkan sejak Putri Junjung Buih dan Maharaja
Suryanata diangkat menjadi raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1362 M (Ras,
1968:320). [17]
2.
Kerajaan Dipa
Sistem
pemerintahan yang berlaku di lingkungan Kerajaan Negara Dipa terkait dengan
konsep pemerintahan tentang prinsip hierarki jabatan, khususnya hierarki
jabatan pada negara tradisional (Max Webber, 1966:333). Dalam konsep negara
tradisional (misalnya dalam pemerintahan yang berbentuk kerajaan), hierarki
jabatan cenderung muncul dari nilai-nilai primordial yang bersifat sakral
sehingga melahirkan apa yang disebut model birokrasi tradisional. MZ Arifin
Anis (1994) dalam tesisnya yang mengangkat judul “Struktur Birokrasi dan
Sirkulasi Elite di Kerajaan Banjar pada Abad XIX” disebutkan bahwa kepemimpinan
dalam masyarakat tradisional berakar kepada struktur sosial yang tertata
berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status (Anis, 1994:31). Posisi status
dalam negara tradisional cenderung berkaitan dengan penilaian sosial terhadap
kehormatan dan citra seseorang, sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial
lebih bersifat pembagian secara politik.
Struktur
politik yang lazim diberlakukan di negara tradisional juga diterapkan di dalam
sistem pemerintahan Kerajaan Negara Dipa di mana raja adalah titik pusat
kekuasaan. Dalam buku yang berjudul Sejarah Banjar karya suntingan M.
Suriansyah Ideham, H. Sjarifuddin, H.A. Gazali Usman, M. Zainal Arifin Anis,
dan Wajidi (2003) dituliskan bahwa raja sebagai pemegang jabatan tertinggi
dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat
dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan atau kingship, seperti benda-benda
pusaka, gelar, ataupun mitos-mitos geneologi yang kesemuanya berfungsi untuk
mengabsahkan kedudukan raja sebagai penguasa. Raja kemudian mendelegasikan
kekuasaannya ke tingkat di bawahnya melalui jabatan birokrasi. Model birokrasi
yang seperti ini dikenal sebagai model birokrasi patrimonial (Ideham, eds., 2003).
Puncak hierarki
kekuasaan pada pemerintahan Kerajaan Negara Dipa adalah raja. Jabatan raja
diwarisi secara turun-temurun sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan
dan bersifat keramat karena dianggap mempunyai kesaktian yang dapat menambah
wewenang (Anis, 1994:76). Pada dasarnya, wewenang merupakan salah satu komponen
kerajaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi juga berhak
menguasai rakyat sebagai hambanya.
3.
Kerajaan Nan Sarunai
Orang-orang
Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai adalah masyarakat yang homogen (Ideham, eds.,
2003). Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai
dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan
dalam hukum adat. Hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai
tercipta berdasarkan genealogis yang disebut ipulaksanai yang berarti
“bersambung usus”. Dalam konteks sistem kekerabatan di lingkungan Kerajaan Nan
Sarunai, ipulaksanai dapat dimaknai sebagai saudara atau kerabat. Dengan
demikian, Kerajaan Nan Sarunai lebih cenderung berperan sebagai media untuk
kepentingan rakyatnya. Hubungan antar personal di dalam lingkungan Kerajaan Nan
Sarunai diikat oleh jalinan kekeluargaan berdasarkan satu keturunan (Ideham,
eds., 2007:16).[18]
Raja tetap
memiliki kekuasaan tertinggi sebagai kepala suku maupun kepala pemerintahan.
Otoritas tradisional yang berlaku di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai adalah
patrikalisme yang pengawasannya berada di tangan seorang individu tertentu yang
memiliki kewenangan warisan (Ideham, eds., 2007:16). Pemimpin Kerajaan Nan
Sarunai mengendalikan pemerintahan dari sebuah rumah panjang bertipe rumah
panggung yang dikenal sebagai Rumah Betang atau Rumah Lamin. Rumah Betang ini
tidak lain merupakan istana bagi Raja Nan Sarunai. Rumah Betang mempunyai ciri
khusus untuk membedakannya dari rumah-rumah biasa, yakni Rumah Betang tersebut
berbentuk tanda plus (Ideham, eds., 2007:16).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ada begitu banyak bentuk-bentuk kebudayaan banjar yang berkembang sebelum
tersentuh oleh ajaran islam sebagian dari budaya itu antara lain: Ritual
badudus, ritual balampah, ritual bahuma, bentuk rumah ba’anjung, sistem
kepercayaan kepada besi-besi yang memiliki kekuatan dan sistem pemerintahan.
[1] http://ibnusyihab.blogspot.com/2012/01/adat-banjar-mandi-pengantin.html. diakses pada 22 September 2014.
[4] Departemen
Pendidikan & Kebudayaan, Upacara Kehamilan & Kelahiran dalam
Pandangan Masyarakat Banjar.
[5] Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Upacara Tradisional (sejak anak
dalam kandungan, lahir sampai dewasa), 1981, h. 25.
[6] http://apanatschkers.wordpress.com/category/islam-dan-budaya-banjar/feed. diakses pada 20 september 2014.
[8] Ibid.
[9] 'http://hornetraptor.blogspot.com/2011/06/ritual-menanam-padi-masyarakat-banjar.html.
diakses pada 17 september 2014.
[10] Ibid.
[11]Ibid.
[12]http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Rumah_Baanjung&action=edit. Diakses pada 19 september 2014.
[15] =http://windarisri98.blogspot.com/2014/01/kerajaan-banjar-makalah-ini-diajukan.html.
diakses pada 2 september 2014.
[16]"http://melayuonline.com/ind/rss/rss_berita. diakses pada 2 september
2014.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Bentuk-bentuk Kebudayaan Penduduk Banjar Sebelum Kerajaan Islam
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://janganpernahselingku.blogspot.com/2014/10/bentuk-bentuk-kebudayaan-penduduk.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar