HADITS DHA’IF
Jumat, 04 April 2014
0
komentar
BAB I
HADITS DHA’IF
A. Pengertian dan Kriteria Hadist Dha’if
Kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang
berarti lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak
dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum.
Imam Abi Amar Ibnu Shalah mendefenisikan Hadis Dha’if
sebagai berikut : “setiap Hadis –Hadis
yang tidak terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis
Hasan maka dia disebut Hadis Dha’if.”
Sedangkan Imam Ibnu Kasir mendefenisikan Hadis Dha’if
adalah “Hadis – Hadis yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih dan
sifat-sifat Hasan”.
Imam Hafiz Haan al-Mas’udi memberikan defenisi Hadis Dha’if
sebagai ” Hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari Hadis Shahih atau
Hadis Hasan.”
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadis Dha’if
adalah Hadis yang tidak mencukupi syarat Shahih maupun hasan baik dari segi
sanad dan matannya, maka kekuatannya lebih rendah dibanding dengan Hadis Shahih
dan Hadis Hasan.
Dari kesimpulan diatas pula dapat diambil intisari bahwa
kriteria Hadis Dha’if adalah :
1)
Terputusnya antara satu perawi dengan perawi lainnya dalam
satu sanad Hadis tersebut, yang seharusnya bersambung.
2)
Terdapat cacat pada diri seoang perawi atau matan dari Hadis
tersebut.
Dari kedua kriteria inilah dapat
dijelaskan kriteria kedhoifan dari Hadis Dha’if tersebut.
B. Hadist Dha’if disebabkan oleh terputusnya Sanad
1.
Hadist Mursal
Adalah Hadis yang dimarfu’kan
(diangkat) oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda,
perbuatan dan taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.
Secara etimologi, adalah isim maf’ul
dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan. Secara
istilah Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang
perawi sesudah tabi’i.
Maksud dari defenisi diatas dapat
dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, den
sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah
saw. Dalam hal ini Tabi’i Mursal tersebut menghilangkan sahabat sebagai
generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i. Sebagai contoh dari
Hadis Mursal ini adalah,
Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu
Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami
al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Said ibnu Musayyab, bahwa
Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma
yang sudah dikeringkan.”
Said bin Musayyab adalah seorang
tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat)
yang menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu
Musyayyab telah menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain
dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya.
a)
Klasifikasi Hadist Mursal
Ditinjau dari segi siapa yang
menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga
bagian :
1)
Mursal Shahabi, yaitu : Pemberitaan sahabat yang disandarkan
kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa
yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil
atau terbelakang masuk Islamnya. Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan
apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga
kemajhulannya tidak bersifat negative.
2)
Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i
namun tabi’i yang meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi
tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan Hadis langsung dari Rasulullah saw.
3)
Mursal Jali, yaitu : apabila penggugurannya dilakukan oleh
rawi (tabi’i) dapat diketahui jelas sekali oleh umum, bahwa orang yang
menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang
digugurkannya atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw.
2.
Hadist Munqati’
Kata
Munqati’ adalah ism maf’ul dari inqata’a yang berarti terputus, secara istilah
Hadis Munqati’ ini adalah Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan
padanya seorang rawi yang tidak jelas.
Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari
Syauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid , dari
Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau
mengangkat Abu Bakar, maka dia kuat lagi terpercaya “.
Riwayat
yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan
Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia
meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk
hadits yang munqoti’.
3.
Hadist Mudallas
Kata
mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan
gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan seorang rawi
dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang
yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran
mendengarkannya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam, gambaran umumnya
sebagai berikut :
a) Tadlis Isnad, perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui
atau yang ia hidup sejaman dengannya,
tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendengar hadits tersebut langsung
darinya. Karenanya ia menggunakan lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan
(dari fulan) .. qoola fulan (berkata fulan), yang tidak menunjukkan arti
ia mendengar darinya. Jika perawi tersebut menggunakan kata yang jelas
seperti : aku mendengar dari fulan
, maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis.
b) Tadlis Taswiyah, Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif
yang terdapat diantara dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan
bertemu, dengan menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk
menjaga hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua.
c) Tadlis Suyukh, menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk
kategori dho’if dengan menyebutkan
sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga menjadi tidak dikenal.
Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah menceritakan kepadaku
Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud adalah Abu Bakar bin Abi
Daud
4.
Hadis Mu’addhal
Kata Mu’addhal berarti
menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang misterius atau problematik. Secara
bahasa menurut ilmu hadis, Hadis Mu’addhal adalah Hadis yang gugur dari
sanadnya dua atau lebih scara berturut-turut baik dari awal sanda, pertengahan
sanad ataupun akhirnya. Hadis ini termasuk yang di mursalkan oleh tabiat
tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis Munqati’. Sama dari
keburukan kwalitasnya, bila kemunqoti’annya lebih dari satu tempat. Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim
dengan sanadnya : Malik Mengatakan : Telah
sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “
bagi budak (berhak) mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik
sesuai kebiasaan)”.
Hadits ini
tergolong hadits mu’addhal karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat
dua tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin
Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
5.
Hadist Mu’allaq
Secara
bahasa Mu’allaq adalah ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang berarti menggantungkan
sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung” sedangkan menurut
istilah ilmu Hadis, hadis Mu’allaq adalah Sesuatu yang telah gugur seorang
perawi atau lebih secara berturut-turut dari awal sanad baik gugurnya tetap
ataupun tidak.
Dalam
literatur lain disebutkan Hadis Mu’allaq adalah Hadis yang dihapus dari awal
sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”.
Contoh hadits mualaq : Yang
dikeluarkan oleh Bukhori dalam muqoddimah sebuah bab, Imam Bukhori menyebutkan :
Berkata Abu Musa Al-Asyarie : “
Adalah nabi SAW menutupi pahanya ketika datang Utsman “.
Maka hadits di atas masuk kategori
muallaq, karena Imam Bukhori membuang semua
sanadnya kecuali sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’arie.
C. Hadits Dhaif Karena Cacat Pada Rawi
Dari segi diterima atau tidaknya
suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis, pada prinsipnya terbagi kepada
dua bagian yaitu Hadis maqbul yang mana Hadis maqbul ini adalah Hadis Shahih
dan Hadis Hasan sementara yang kedua adalah Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan
segala macamnya.
Karena cacat perawi dalam Hadis
Dha’if ini baik dari segi matan maupun sanadnya disebabkan oleh keadilan
perawi, agamanya tau hafalannya tau keelitiannya, selain itu juga karena
terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan atau yang saling tidak bertemu
antara sau dengan yang lain. Dalam hal ini Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi
perawinya terbagi bermacam-macam yaitu :
1.
Hadist Mudha’af
Yaitu
Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli Hadis menilainya
mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain
mengatakannya kuat namun penilaian kedhaifannya lebih kuat. Ibnu al-Jaui
merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan terhadap Hadis jenis
ini.
2.
Hadist Matruk atau Hadits Mathruh
Hadis
matruk adalah Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh
orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau
sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui
perbuatan ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Misalnya Hadis
Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda,
sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan
bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti :
Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said
bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad
tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh
karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3.
Hadist Munkar
Hadis Munkar adalah Hadis yang
perawinya sangat cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para
ulama Hadis memberikan defenisi yang bervariasi tentang Hadis Munkar ini.
Diantaranya ada dua defenisi yang selalu digunakan, yaitu :
a) Hadist yang terdapat pada sanadnya
seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lali dan terlihat
kefasikannya secara nyata.
b) Hadist yang diriwayatkan oleh perawi
yang dha’if yang Hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi
yang tsiqoh. contoh : “Barangsiapa yang mendirikan shalat,
membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.
( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi
yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih
kuat.
4.
Hadist Mu’allal
Hadis
Muallal adalah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu hanya
persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya,
seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang
sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil,
dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.
Contoh:
Rasulullah
bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid
dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya
dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti
dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin
Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5.
Hadist Mudraj
Idraj berarti memasukkan Sesuatu
kepada suatu yang lainnya dan menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan
kata lain Hadis mudraj adalah Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata tambahan
yang bukan dari bagian Hadis tersebut. Hadis mudraj ada dua yaitu :
Mudraj
Isnad : “seorang perawi menambahkan
kalimat-kalimat dari dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah Hadis disebabkan
oleh suatu perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa
yang diucapkannya adalah juga bagian dari Hadis tersebut.
Mudraj
Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu Hadis yang bukan merupakan
matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya ( yaitu antara matan
Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan
dari perawi kedalam matan suatu Hadis, sehingga diduga perkataan tersebut
berasalah dari perkataan Rasulullah saw. Contoh : Rasulullah
bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi
orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman
surga”.
Kalimat
akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat tinggal di
tamansurga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6.
Hadist Maqlub
Hadis
Maqlub adalah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad
Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya. Dengan kata
lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan ataupun
diakhirkan. Dalam hal ini jelas bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat
dijadikan dalil suatu hukum. Contoh :
Rasulullah
SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah
dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai
kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya
hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larang kamu
darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka
kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7.
Hadist Mudhtharib
Hadis
Mudhtharib adalah Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berbeda yang
masing-masing sama kuat.
8.
Hadist Mushahaf
Yaitu
Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang
tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini ada yang berubah sanadnya dan
adapula berubah matannya.
9.
Hadist Syaz
Yaitu
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu perawi yang dhabit, adil
dan sempurna kebaikannya namun Hadis ini berlawanan dengan Hadis yang
diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit shingga hadis
ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz.
D. Hadits Dhaif Karena Salah pada Segi Matan
Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dhoif
dari sudut penyandarannya ini adalah hadits mauquf dan hadits maqhthu’.
1.
Hadits Mauquf
Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan,perbuatan,atau taqrirnya. Periwayatannya baik bersambung atau tidak.
Contohnya:
يقول: اذا أمسيت فلا تنتظرالصباح واذا أصنحت فلا تنتظرالمساء
وخذ من صحّتك لمرضك ومن حياتك لموتك (رواه البخاري)
“Konon Ibnu Umar r.a berkata: Bila kau
berada di waktu sore jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada
di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu
persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.”
(HR. Bukhari)
Hadits di atas adalah hadits mauquf, sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar
sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah saw, yang ia ucapkan
setelah ia menceritakan bahwa rasulullah memegang bahunya dengan bersabda:
كن فى الدنيا كأنّك غريب او عابر سبيل
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan
orang asing atau orang yang lewat di jalanan”
2.
Hadits Maqthu’
Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.
Contohnya ialah
perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’in besar, ujarnya:
المؤمن اذا عرف ربّه عزّوجلّ أحبّه
واذا أحبّه أقبل إليه
“Orang mukmin
itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya ia mencintainya dan bila
ia mencintainya Allah menerimanya.”
Contoh lain
seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة وبعد الأضحى ستّ
ركعات
“Termasuk
sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6
rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan
Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya
ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab
suatu hadits dikatakan dengan munqathi
itu dalam
lapangan pembahasan sanad, yakni sanarnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits
dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak
dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para
muhadditsin mengatakan: “Ini hadits maqthu”, maka maksudnya: Hadits (khabar)
yang disandarkan kepada tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan, baik
muttashil maupun munqathi.”
E. Kehujahan
Hadits dhaif
Khusus
hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar
Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa
syarat:
1. Level
Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata
yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya.
Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa
dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal
haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan
untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2.
Berada
di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan
sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya.
Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi
pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3.
Ketika
Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau.
Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya
informasi ini dari Rasulullah SAW.
F.
Status
Kehujahan
Pendapat
pertama; hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang
berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak
ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampai kan oleh beberapa
imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan sebagainya.
Pendapat
yang kedua; dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadailul amal, baik
yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.
Pendapat
ketiga; hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan
dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi
Abu Bakar Ibnu Arabi.
BAB II
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz
yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang yidak terkumpul
sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat
hadits hasan.
Pembagian hadits dha’if ada dua
bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan.
Status kehujjahan sebuah hadits
dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan secara mutlak, dipandang baik
mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali tidak dapat di amalkan.
DAFTAR PUSTAKA
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: HADITS DHA’IF
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://janganpernahselingku.blogspot.com/2014/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar