HADITS DHA’IF

Posted by Unknown Jumat, 04 April 2014 0 komentar

BAB I
HADITS DHA’IF

A.  Pengertian dan Kriteria Hadist Dha’if

Kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-Qowiy, yang berarti lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. 
Imam Abi Amar Ibnu Shalah mendefenisikan Hadis Dha’if sebagai berikut : “setiap Hadis –Hadis yang tidak terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan maka dia disebut Hadis Dha’if.”
Sedangkan Imam Ibnu Kasir mendefenisikan Hadis Dha’if adalah  “Hadis – Hadis yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat Hasan”.
Imam Hafiz Haan al-Mas’udi memberikan defenisi Hadis Dha’if sebagai Hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari Hadis Shahih atau Hadis Hasan.”
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadis Dha’if adalah Hadis yang tidak mencukupi syarat Shahih maupun hasan baik dari segi sanad dan matannya, maka kekuatannya lebih rendah dibanding dengan Hadis Shahih dan Hadis Hasan.
Dari kesimpulan diatas pula dapat diambil intisari bahwa kriteria Hadis Dha’if adalah :
1)        Terputusnya antara satu perawi dengan perawi lainnya dalam satu sanad Hadis tersebut, yang seharusnya bersambung.
2)        Terdapat cacat pada diri seoang perawi atau matan dari Hadis tersebut.
Dari kedua kriteria inilah dapat dijelaskan kriteria kedhoifan dari Hadis Dha’if tersebut.

B.  Hadist Dha’if disebabkan oleh terputusnya Sanad
1.    Hadist Mursal
Adalah Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, perbuatan dan taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.
Secara etimologi, adalah isim maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan. Secara istilah Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’i.
Maksud dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i Mursal tersebut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i. Sebagai contoh dari Hadis Mursal ini adalah,
Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Said ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah dikeringkan.”
Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya.

a)   Klasifikasi Hadist Mursal
Ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga bagian :
1)        Mursal Shahabi, yaitu : Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil atau terbelakang masuk Islamnya. Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negative.
2)        Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i yang meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan Hadis langsung dari Rasulullah saw.
3)        Mursal Jali, yaitu : apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) dapat diketahui jelas sekali oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw.

2.    Hadist Munqati’
Kata Munqati’ adalah ism maf’ul dari inqata’a yang berarti terputus, secara istilah Hadis Munqati’ ini adalah Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan padanya seorang rawi yang tidak jelas.  Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari Syauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid , dari Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau mengangkat Abu Bakar, maka dia kuat lagi terpercaya “.
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits yang munqoti’.

3.     Hadist Mudallas
Kata mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya.  Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam, gambaran umumnya sebagai berikut :

a)    Tadlis Isnad, perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui atau yang ia hidup sejaman dengannya, tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendengar hadits tersebut langsung darinya. Karenanya ia menggunakan lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan (dari fulan) .. qoola fulan (berkata fulan), yang tidak menunjukkan arti ia mendengar darinya. Jika perawi tersebut menggunakan kata yang jelas seperti :  aku mendengar dari fulan , maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis.
b)   Tadlis Taswiyah, Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif yang terdapat diantara dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan bertemu, dengan menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk menjaga hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua.
c)    Tadlis Suyukh, menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk kategori dho’if dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga menjadi tidak dikenal. Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud adalah Abu Bakar bin Abi Daud

4.    Hadis Mu’addhal
Kata Mu’addhal berarti menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang misterius atau problematik. Secara bahasa menurut ilmu hadis, Hadis Mu’addhal adalah Hadis yang gugur dari sanadnya dua atau lebih scara berturut-turut baik dari awal sanda, pertengahan sanad ataupun akhirnya. Hadis ini termasuk yang di mursalkan oleh tabiat tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis Munqati’. Sama dari keburukan kwalitasnya, bila kemunqoti’annya lebih dari satu tempat.  Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya : Malik Mengatakan : Telah sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “ bagi budak (berhak) mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik sesuai kebiasaan)”.
Hadits ini tergolong hadits mu’addhal karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat dua tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.

5.     Hadist Mu’allaq
Secara bahasa Mu’allaq adalah ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung” sedangkan menurut istilah ilmu Hadis, hadis Mu’allaq adalah Sesuatu yang telah gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut dari awal sanad baik gugurnya tetap ataupun tidak.
Dalam literatur lain disebutkan Hadis Mu’allaq adalah Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”.
Contoh hadits mualaq : Yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam muqoddimah sebuah bab, Imam Bukhori menyebutkan :  Berkata Abu Musa Al-Asyarie : “ Adalah nabi SAW menutupi pahanya ketika datang Utsman “.
Maka hadits di atas masuk kategori muallaq, karena Imam Bukhori membuang semua sanadnya kecuali sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’arie.

C.  Hadits Dhaif Karena Cacat Pada Rawi
Dari segi diterima atau tidaknya suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis, pada prinsipnya terbagi kepada dua bagian yaitu Hadis maqbul yang mana Hadis maqbul ini adalah Hadis Shahih dan Hadis Hasan sementara yang kedua adalah Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan segala macamnya.
Karena cacat perawi dalam Hadis Dha’if ini baik dari segi matan maupun sanadnya disebabkan oleh keadilan perawi, agamanya tau hafalannya tau keelitiannya, selain itu juga karena terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan atau yang saling tidak bertemu antara sau dengan yang lain. Dalam hal ini Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi perawinya terbagi bermacam-macam yaitu :

1.    Hadist Mudha’af
Yaitu Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli Hadis menilainya mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain mengatakannya kuat namun penilaian kedhaifannya lebih kuat. Ibnu al-Jaui merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan terhadap Hadis jenis ini.

2.    Hadist Matruk atau Hadits Mathruh
Hadis matruk adalah Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Misalnya Hadis Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3.    Hadist Munkar
Hadis Munkar adalah Hadis yang perawinya sangat cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama Hadis memberikan defenisi yang bervariasi tentang Hadis Munkar ini. Diantaranya ada dua defenisi yang selalu digunakan, yaitu :
a)    Hadist yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lali dan terlihat kefasikannya secara nyata.
b)   Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang Hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh. contoh : “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4.     Hadist Mu’allal
Hadis Muallal adalah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.  Contoh:
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama   mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

5.        Hadist Mudraj
Idraj berarti memasukkan Sesuatu kepada suatu yang lainnya dan menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain Hadis mudraj adalah Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari bagian Hadis tersebut. Hadis mudraj ada dua yaitu :
Mudraj Isnad : “seorang perawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah Hadis disebabkan oleh suatu perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang diucapkannya adalah juga bagian dari Hadis tersebut.
Mudraj Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu Hadis yang bukan merupakan matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya ( yaitu antara matan Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan suatu Hadis, sehingga diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw. Contoh : Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat tinggal di tamansurga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6.        Hadist Maqlub
Hadis Maqlub adalah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya. Dengan kata lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam hal ini jelas bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat dijadikan dalil suatu hukum. Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larang kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7.        Hadist Mudhtharib
Hadis Mudhtharib adalah Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berbeda yang masing-masing sama kuat.

8.        Hadist Mushahaf
Yaitu Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya.

9.        Hadist Syaz
Yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu perawi yang dhabit, adil dan sempurna kebaikannya namun Hadis ini berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit shingga hadis ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz.

D.  Hadits Dhaif Karena Salah pada Segi Matan
Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dhoif dari sudut penyandarannya ini adalah hadits mauquf dan hadits maqhthu’.

1.        Hadits Mauquf

        Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan,perbuatan,atau taqrirnya. Periwayatannya baik bersambung atau tidak.

Contohnya:
يقول: اذا أمسيت فلا تنتظرالصباح واذا أصنحت فلا تنتظرالمساء وخذ من صحّتك لمرضك ومن حياتك لموتك (رواه البخاري)
“Konon Ibnu Umar r.a berkata: Bila kau berada di waktu sore jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas adalah hadits mauquf, sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah saw, yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa rasulullah memegang bahunya dengan bersabda:
كن فى الدنيا كأنّك غريب او عابر سبيل
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan”

2.        Hadits Maqthu’

        Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.

Contohnya ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’in besar, ujarnya:
المؤمن اذا عرف ربّه عزّوجلّ أحبّه واذا أحبّه أقبل إليه
“Orang mukmin itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya ia mencintainya dan bila ia mencintainya Allah menerimanya.”
Contoh lain seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة وبعد الأضحى ستّ ركعات
“Termasuk sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6 rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan dengan munqathi itu dalam lapangan pembahasan sanad, yakni sanarnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para muhadditsin mengatakan: “Ini hadits maqthu”, maka maksudnya: Hadits (khabar) yang disandarkan kepada tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan, baik muttashil maupun munqathi.”

E.  Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
1.    Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2.    Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3.    Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
F.   Status Kehujahan
Pendapat pertama; hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan sebagainya.
Pendapat yang kedua; dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.
Pendapat ketiga; hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.


BAB II
PENUTUP
1.  Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang yidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan.
Status kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan secara mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali tidak dapat di amalkan.















DAFTAR PUSTAKA

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: HADITS DHA’IF
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://janganpernahselingku.blogspot.com/2014/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by Fahmianor | Copyright of The Dead Civilization.